Kamis, 04 Oktober 2012

Penjelasan Mengenai Partai Politik di Indonesia


PARTAI POLITIK
A.    LATAR BELAKANG

            Berjalannya suatu Negara pasti tak lepas dari sebuah system politik. Karena pasti system politik-lah yang menjadi tolak ukur kemajuan dalam suatu negara. Negara yang maju dapat dipastikan bahwa system politik didalamnya tertata dengan baik. System politik sendiri dapat diartikan sebagai suatu mekanisme dari seperangkat fungsi, dimana fungsi-fungsi tadi melekat pada suatu struktur-struktur politik, dalam rangka pelaksanaan dan pembuatan kebijakan yang mengikat masyarakat.
            Dalam suatu sistem politik terdapat berbagai unsur, dan salah satu unsur tersebut adalah partai politik. Partai politik dalam hubungannya dengan system social politik ini memainkan berbagai fungsi, salah satunya pada fungsi input, dimana partai politik menjadi sarana sosialisasi politik, komunikasi politik, rekruitmen politik, agregasi kepentingan, dan artikulasi kepentingan. Lalu apa sajakah sebenarnya fungsi partai politik dalam hubungannya dalam proses pembuatan dan penerapan kebijakan di Indonesia, apabila melihat keadaan sekarang dimana partai politik telah dipandang sebelah mata oleh masyarakat yang merasa bahwa partai politik tidak lagi membawa aspirasi masyarakat melainkan keberadaannya hanya dianggap sebagai kendaraan politik yang dipakai oknum-oknum tertentu untuk menggapai  jabatan-jabatan publik di Indonesia.

B.     DEFENISI PARTAI POLITIK
            Menurut UU Republik Indonesia No. 2 tahun 2008 tentang partai politik, partai politik adalah organisasi politik yang bersifat nasional dan di bentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[1]
            Carl J. Friedrich mendefinisikan partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kememfaatan bersifat idiil maupun material.[2]
            Leon D. Eisptern berpendapat partai politik adalah sekelompok orang yang secara peran terlibat dalam politik dan  mempunyai tujuan utama, terwakilinya secara formal dalam institusi dan pembuat kebikan pemerintah.

            Menurut Sigmund Neumann seorang ahli ilmu klasik dan kontemporer, mengemukakan partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.[3]
            Secara umum dapat di katakan partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya.
            Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di suatu daerah secara suka rela atas persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan, anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil Gubernur, serta Bupati dan Wakil Bupati/Wali Kota dan Wakil Walikota.

C.    FUNGSI PARTAI POLITIK

1)    Sebagai Sarana Komunikasi Politik
            Dalam hal ini partai politik juga berfungsi untuk memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah.
            Partai politik merumuskan usulan-usulan kebijakan yang bertumpu pada aspirasi dari masyarakat. Kemudian rumusan tersebut diartikulasikan kepada pemerintah agar dapat dijadikan sebagai sebuah kebijakan. Proses ini menunjukan bahwa komunikasi antar pemerintah dengan masyarakat dapar dijembatani oleh partai politik. Dan bagi partai politik mengartikulasikan aspirasi rakyat merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat dielakkan, terutama bila partai politik tersebut ingin tetap eksis dalam kancah politik nasional.

2)    Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
            Partai politik menjadi penghubung yang mensosialisasikan nilai-nilai politik generasi yang satu ke generasi yang lain. Pelaksanaan fungsi sosialisasi ini di lakukan melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus kader, penataran, dsb. Funsi lain dari sosialisasi politik adalah upaya menciptakan citra (image) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum.

3)    Sebagai Sarana Rekruitment Politik
            Dimana partai politik berkewajiban untuk melakukan seleksi dan rekruitmen dalam rangka mengisi posisi dan jabatan politik tertentu. Dengan adanya rekruitmen politik maka dimungkinkan terjadinya rotasi calon mobilitas politik. Tanpa rotasi dan mobilitas politik pada sebuah sistem politik, maka akan muncul diktatorisme dan stagnasi[4] politik dalam sistem tersebut.Rekruitmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin.

4)        Sebagai Sarana Pengatur Konflik (Conflict Management)
            Partai politik dapat menjadi penghubung psikologis dan organisasional antara warga negara dengan pemerintahnya. Selain itu, partai juga melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat.

D.    KLASIFIKASI SISTEM KEPARTAIAN

Sistem kepartaian pertama kali dibentangkan oleh Maurice Duverger. Ia mengadakan klasifikasi menurut 3 kategori yaitu :
1)      Sistem Partai Tunggal
            Merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai lain.
            Termasuk dalam  katagori ini adalah  negara-negara yang hanya memiliki satu partai seperti di negara-negara Komunis dan negara-negara yang memperbolehkan munculnya lebih dari satu partai tetapi hanya ada satu partai dominan. Biasanya, yang terakhir ini muncul karena corak sistem politiknya yang otoriter. Pola partai tunggal terdapat di beberapa negara : Afrika, Cina dan Kuba.
            Dalam hal ini, fungsi partai adalah meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menerima persepsi pimpinan partai mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya.

2)      Sistem Dwi-Partai
            Artinya partai-partai yang dominan hanya dua, yakni partai yang berkuasa dan oposisi, meskipun bisa jadi di tengah-tengah dua partai itu terdapat partai-partai kecil lainnya. Amerika Serikat, Inggris dan Australia, bisa dikatagorikan sebagai negara-negara yang menganut sistem dwi partai.
            Bahwa ada dua partai diantara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan.
            Sistem dwi-partai dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat yaitu, komposisi masyarakat bersifat homogen, adanya konsensus kuat dalam masyarakat mengenai azas dan tujuan sosial dan politik, dan adanya kontinuitas sejarah.[5]

3)      Sistem Multi-partai
            Artinya, jumlah partai yang berkembang menjadi partai dominan itu lebih dari dua. Negerai Belanda termasuk negara yang menganut sistem kepartaian seperti itu. Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan-golongan baru.

           


            Para meter kedua yang bisa kita pakai adalah berkaiatan dengan jarak ideologi antara partai yang satu dengan partai yang lain. Untuk ini, paling tidak, terdapat dua sistem yang muncul.
1)      sistem kepartaian yang corak ideologis sentrifugal. Artinya, jarak ideologi yang dimiliki partai yang satu dengan partai yang lain cukup jauh, bahkan bisa bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Misalnya saja, Partai Komunis dan Partaipartai yang berbasis keagamaan (islam, Kristen/Katholik, Hindu, Budha dan yang lain) jelas memiliki jarak ideologis yang jauh.
2)      sistem kepartaian yang bercorak ideologis sentripetal. Artinya, jarak ideologis antara partai yang satu dfengan partai yang laian tidak jauh, bahkan bisa saling terkait antara yang satu dengan yang lain.

Untuk menjadi badan hukum, partai harus memiliki :
1)      Akta notaris pendirian Partai Politik
2)      Memiliki  Nama, lambang, atau  tanda gambar  tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang atau tanda gambar yang telah di pakai secara Sah oleh partai politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
3)      Kantor tetap
4)      Kepengurusan sekurang-kurangnya 60% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan
5)      Memiliki rekening atas nama partai politik
6)      Memiliki kantor tetap


E.     PEMILIHAN UMUM
Pemilu merupakan sarana untuk menelorkan para wakil rakyat dan pemimpin yang kapabel, demokratis dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Pemilu merupakan salah satu prasyarat penting dalam sebuah negara demokrasi. Pemilu lahir dari dua arus pemikiran yang saling bertentangan dalam demokrasi. Arus pertama menyatakan bahwa esensi demokrasi adalah adanya pengakuan atas hak individ uuntuk turut serta dalam proses politik. Namun, segera disadari, dan ini penyebab munculnya arus kedua, bahwa tidak mungkin setiap individu bisa terlibat dalam setiap tahap proses politik.[6]
            Terdapat tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa. Pertama, melalui pemilu, pemerintah sebenarnya sedang  menyakinkan atau setidaknya memperbaharuhi kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warga negara . para penganut fungsionalisme menyakini pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi pemerintah untuk meningkatkan respon rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya dan pada saat yang sama memperkecil tingkat oposisi atasnya. Ketiga dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan untuk mempertahankan legitimasi.
            Antonio Gramsci menunjukkan kesepakatan yang diperoleh melalui hegemoni oleh penguasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana kontrol dan pelestarian legitimasi otoritasnya daripada penggunaan kekerasan dan dominasi.[7]

F.     MEMAHAMI KEBERADAAN PARTAI POLITIK LOKAL

            Menurut J. Kristiadi, timbulnya partai politik lokal setidaknya berkaitan erat dengan  2 (dua) alasan pokok : Pertama, masyarakat Indonesia yang beragam dengan wilayah yang amat luas harus mempunyai instrumen politik yang benar-benar dapat menampung seluruh aspirasi masyarakat daerah. Partai politik berskala nasional tidak akan dapat menampung dan mengagregasikan kepentingan masyarakat di daerah yang beragam. Kedua, dengan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah langsung, seharusnya masyarakat di daerah diberi kesempatan membentuk partai lokal agar calon-calon kepala daerah benar-benar kandidat yang mereka kehendaki, dan dianggap merupakan sosok yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat daerah.
            Partai politik lokal dapat dipahami dalam dua hal. Pertama, adalah partai-partai politik yang  hanya eksis di daerah-daerah tertentu, misalnya saja di dalam kabupaten/kota tertentu atau propinsi tertentu, Kedua parati politik lokal yang hanya eksis didaerah dan hanya ikut serta dalam pemilu untuk memperebutkan jabatan-jabatan publik didaerah tersebut, baik legislatif, maupun eksekutif.

            Ada enam keuntungan politik apabila partai politik lokal dibiarkan tumbuh subur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1)        partisipasi politik masyarakat akan tersalurkan dalam wadah dan partai politik yang memiliki warna yang sesuai dengan karakter dan lokalitas daerah dan wilayahnya. Partisipasi politik semacam ini akan makin mendekatkan pemimpin dengan masyarakatnya, sehingga terbangun jembatan politik yang mampu mewujudkan tata kelola kebijakan yang berbasis pada aspirasi politik masyarakat.
2)        keberadaan partai politik lokal secara subtansi memagari keinginan untuk menuntut kemerdekaan dan pemerintahan sendiri. Hal ini dikarenakan masyarakat secara terbuka dan aktif terlibat dalam proses pemilihan pemimpinnya, tanpa campur tangan pemerintah pusat. Karakteristik kepemimpinan politik yang dihasilkan akan mengikuti selera politik masyarakatnya, sehingga peran pemerintah pusat hanya menjadi penegas dari hasil tersebut.
3)        rekruitmen politik lebih jelas dan berbasis dari masyarakat sendiri. Rekruitmen tersebut menjadi isu yang signifikan karena kerap kali calon-calon dalam pilkada tidak berbasis di daerah dan wilayahnya, sehingga dapat dilihat sebagai langkah mundur dalam penguatan politik lokal. Rekruitmen politik untuk mengisi posisi-posisi strategis di daerah, akan makin kuat legitimasinya apabila diperoleh dari seleksi yang dilakukan di sejumlah partai politik lokal, dan hasil dari kontestasi pilkada. Dengan berbasis pada dukungan partai politik lokal, seleksi kepemimpinan di wilayah yang bersangkutan akan lebih selektif dan efektif. Hal ini dikarenakan partai politik lokal yang akan menyeleksi calon-calon diasumsikan lebih tahu karakteristik dan potensi daerahnya. Sehingga dengan adanya partai politik lokal, saringan terhadap potensi kepemimpinan daerah yang bersangkutan akan lebih baik lagi.
4)         partai politik lokal secara prinsip menambah pilihan politik bagi masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya. Beragamnya pilihan calon yang diusung dengan berbagai kendaraan politik secara inheren melakukan pendidikan politik masyarakat. Sehingga yang terbangun tidak hanya sekedar sentimen daerah atau lokal saja yang terbangun, tapi juga pembangunan kesadaran dan pendidikan politik bagi masyarakat perihal calon-calon yang ada kepada masyarakat. Sebab, harus diakui salah satu peluang yang harus diminimalisir dalam pembangunan partai politik lokal adalah terbangunnya sentimen kedaerahan yang membabi buta. Yang pada akhirnya menghilangkan semangat dan tujuan positif dari adanya partai politik lokal.
5)         tereksploitasinya segenap potensi daerah untuk bersama-sama membangun daerah dan wilayahnya secara konstruktif. Keberadaan potensi daerah yang tidak muncul saat menggunakan sistem kepartaian nasional, karena adanya campur tangan pusat, maupun dewan pimpinan pusat partai bersangkutan dalam pencalonan dan seleksi kandidat akan tereduksi dengan diperbolehkannya partai politik lokal. Hal ini menjadi salah satu peluang bagi potensi lokal yang selama ini tidak terakomodasi untuk membuktikan kapasitasnya lewat kendaraan politik partai politik lokal.
6)        dengan adanya partai politik lokal diasumsikan akan memberikan garansi regenerasi kepemimpinan politik di daerah yang berkesinambungan. Regenerasi kepemimpinan politik di daerah tidak lagi terinterupsi oleh kepentingan pemerintah pusat atau pengurus partai di tingkat pusat yang hanya akan memaksakan calon-calon dropping dari dewan pimpinan partai atau rekayasa pemerintah pusat. Regenerasi kepemimpinan politik yang berkesinambungan memberikan harapan bagi masyarakat untuk secara bersungguh-sungguh memberikan aspirasi politiknya agar daerahnya lebih maju, dengan tetap memperhatikan asas tata kelola pemerintahan yang baik.




[1] Harmut Hess “PEKERJAAN PARTAI”, hlm. 15.
[2] Friedrich, constitutional Goverment and Democracy, hlm. 419
[3] Sigmund Neumann. “ Modern Political Parties,” dalam Comparative Politics: A Reader, diedit oleh Harry Eckstein dan David E. Apter (London: The Free Press of Glencoe, 1963), hlm 352
[4] Hambatan atau kelambatan
[5] Peter G.J. Pulzer, Political Representation and Elections in Britain (London: George Allen and Unwin Ltd., 1967), hlm. 41.
[6] Imawan, Riswandha, Membedah Politik Orde Baru Catatan Dari Kaki Merapi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
[7] Simon, Roger. Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Trj. Pustaka Pelajar, 2004 hal. 133.